Jakarta, Banyumas.News – Akademisi yang juga pakar ilmu politik Dewi Fortuna Anwar mengatakan, perlu ada analisis komprehensif dalam menyikapi kekerasan terhadap kemanusiaan yang dapat memicu rantai kekerasan tak berkesudahan. Berbagai kekerasan memunculkan militanisme, seperti konfilik Israel-Palestina.
“Kita sendiri bahkan mungkin pernah menyaksikan atau mengalami, kekerasan kepada kelompok masyarakat tertentu akan menimbulkan militanisme dan gerakan-gerakan yang makin memperparah kekerasan yang sebelumnya ada,” ujar Dewi Fortuna dikutip dari Antara, Rabu (15/11/2023).
Menurut Dewi Fortuna, hal tersebut selalu terjadi silih berganti dari masing-masing pihak yang bertikai. Seharusnya, dalam setiap konflik atau permasalahan, ada jalan penyelesaian secara damai dan kemungkinan berdiplomasi harus selalu diutamakan.
Dikatakan, walaupun demikian, ada kalanya memang tidak selalu bisa hanya melakukan pendekatan persuasif, kadang-kadang pendekatan represif perlu dilakukan.
Menurut Dewi Fortuna Anwar, Indonesia juga pernah memainkan peran represif seperti ketika menghadapi gerakan-gerakan terorisme di dalam negeri, atau dunia internasional ketika menghadapi ancaman dari Al-Qaeda dan ISIS.
Mantan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menambahkan, perlu dipahami bahwa istilah terorisme sebenarnya berbagai pihak memaknainya bisa berbeda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Pada beberapa konflik yang terjadi, lanjut Dewi Fortuna, pihak yang dianggap sebagai penyebar teror oleh banyak negara justru dipandang sebagai juru selamat oleh pihak tertentu, dan begitu pula sebaliknya.
“Seperti yang terjadi di Israel dan Palestina. Selama ini kalau kita lihat pemberitaan di media-media barat, yang disoroti utamanya adalah gerakan terorisme yang dilakukan oleh Hamas kepada Israel,” kata Dewi Fortuna Anwar.
Dewi Fortuna menjelaskan, argumentasi mereka didasarkan pada serangan Hamas terhadap Israel yang belakangan ini dilakukan secara tiba-tiba dan melibatkan tindak penculikan dan pembunuhan.
“Padahal, apabila dilihat secara keseluruhan, apa yang dialami oleh masyarakat Palestina di Gaza selama puluhan tahun, mereka seperti hidup dalam penjara, bahkan neraka,” kata Dewi.
Dewi tidadk memungkiri, baik yang pro maupun kontra dengan Palestina dan Israel akan selalu ada dan masing-masing punya pendukungnya. Masing-masing perspektif memiliki kadar kebenarannya sendiri.
Dua kutub yang berseberangan ini, lanjutnya, bisa terjadi karena adanya timbal balik atau aksi dan reaksi. Semua perlu melihat konteksnya secara keseluruhan agar tidak keliru dalam bersikap.
Begitu juga dengan apa yang di Indonesia, khususnya di Papua. Gerakan separatis seperti OPM atau Organisasi Papua Merdeka yang menggunakan kekerasan.
Banyak pihak yang simpati mengatakan, OPM adalah pejuang rakyat Papua. Namun, bagi pemerintah Indonesia, OPM tidak lebih dari sebuah gerakan terorisme.
Perbedaan perspektif semacam ini sebenarnya juga sering disaksikan ketika pemerintah menyatakan suatu gerakan atau organisasi berpaham radikal atau bahkan masuk ke dalam jaringan teror.
Dia berharap apa yang terjadi di Palestina tidak terjadi juga di belahan dunia lainnya, khususnya di Indonesia. Masih terjadinya kasus kekerasan di Papua seharusnya juga menjadi pengingat bagi semua bahwa Indonesia masih perlu banyak membenahi diri dalam menjaga perdamaian dan hak asasi manusia.