Jakarta, Banyumas.News– Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengajak kalangan akademisi untuk bersama mencari solusi dalam penanganan hutan yang berkelanjutan. Dia menekankan bahwa pembentukan formulasi reorientasi paradigma pembangunan kehutanan berkelanjutan di Indonesia menjadi sangat penting.
“Pembangunan kehutanan berkelanjutan di Indonesia sangat penting. Ini sebagai dasar untuk pengelolaan kehutanan di masa mendatang, termasuk rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN),” ujar Menteri Siti saat menggelar pertemuan dengan 20 Guru Besar dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (14/11/2023) seperti dikutip Antara.
Menteri Siti menyoroti orientasi manufaktur hijau. Ia menyatakan bahwa hal tersebut kini menjadi hal yang krusial dan akan menjadi dasar untuk langkah-langkah kementerian ke depannya.
Peraturan Presiden tentang pengembangan area terpadu dengan basis hutan sosial telah diterapkan. Pemerintah juga telah menetapkan taman nasional sebagai pusat atau sumber pertumbuhan ekonomi wilayah dan contoh distribusi pendapatan yang efektif, seperti yang terlihat pada Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Gunung Ciremai.
“Semuanya itu mencakup payung besar manufaktur hijau, termasuk bioprospecting, hasil hutan non-kayu, bambu, dan sebagainya. Semua hal ini bergerak menuju arah manufaktur hijau,” ungkap Siti.
Menteri Siti juga mendorong pengembangan era Agroforestry Nusantara sebagai ciri khas pengelolaan hutan Indonesia.
Dengan pendekatan manufaktur hijau, ia meminta agar diperluas dan dikaji lebih lanjut potensi dan tantangan Borneo River Basin, yang memiliki karakteristik Kalimantan dan melibatkan ekosistem dan hutan seluas 23 juta hektare.
Sementara itu Guru Besar Universitas Gadjah Mada, San Afri Awang mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh KLHK. Ia menyebut banyak inovasi, tindakan korektif, dan program-program selama sembilan tahun terakhir.
“Untuk hal-hal yang sudah diimplementasikan, mungkin tidak perlu dibahas lebih lanjut. Namun, kita perlu fokus pada hal-hal yang perlu kita kembangkan ke depannya,” kata Awang.
Lebih lanjut, Awang menyoroti tujuh poin terkait RKTN, termasuk penyusunan rencana makro kehutanan, rencana kehutanan tingkat provinsi, dan pengendalian kegiatan pembangunan kehutanan.
“Konteks dari tujuh poin ini perlu dievaluasi kembali, apakah sudah sesuai dengan RKTN atau tidak, dan jika tidak, kita harus mencari solusi, termasuk kewenangan yang terlibat, termasuk dalam konteks desentralisasi yang sudah berjalan,” ungkap Awang.