Jakarta, Banyumas.News– Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak percepatan implementasi skema subsidi pupuk yang diberikan langsung ke petani untuk mengatasi permasalahan dalam tata kelola produksi pertanian. Pasalnya, masih banyak petani yang tidak menerima penyaluran pupuk subsidi.
Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat SPI Mujahid Widian S, mengatakan masalah akses dan distribusi yang kompleks, termasuk antrean panjang dan kebocoran dalam distribusi pupuk bersubsidi yang disalurkan BUMN Pupuk Indonesia, masih dirasakan petani. Mujahid menekankan bahwa perubahan dalam tata kelola pupuk perlu segera dilakukan untuk memastikan subsidi tepat sasaran.
“Datangnya (pupuk) kadang dua minggu sekali, bahkan dua bulan tidak ada kiriman dari distributor. Sementara di kios-kios tidak resmi banyak pupuk yang tersedia dengan harga dua kali lipatnya,” jelas dia kepada B-Universe, baru-baru ini.
Dia mengusulkan subsidi pupuk seharusnya diberikan langsung ke petani dalam bentuk uang tunai. Hal ini memungkinkan petani memilih pupuk sesuai kebutuhan mereka. Menurutnya, tata kelola pupuk yang berjalan saat ini, terutama distribusi melalui kartu tani, menyebabkan banyak petani tidak terdaftar atau data mereka tidak valid.
“Kami sudah usul agar subsidi pupuk diubah menjadi langsung diberikan ke petani. Subsidi bisa dicairkan dalam bentuk uang cash, petani bebas memilih pupuk yang diinginkan, sesuai kebutuhan,” kata Mujahid.
Saat ini, subsidi pupuk masih diberikan kepada BUMN Pupuk Indonesia dan distribusinya melalui kartu tani, dengan rencana penambahan kartu tanda penduduk (KTP). Namun, SPI menilai hal ini membuat sebagian petani kesulitan mengakses pupuk bantuan pemerintah.
Dia menambahkan bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi yang mengandalkan kartu tani memiliki kelemahan, terutama karena tidak semua petani terdaftar dalam kartu tersebut. Apabila sistem KTP diberlakukan, SPI khawatir penyaluran pupuk bersubsidi makin kompleks karena data luasan lahan (petani gurem atau tidak) dan jenis tanaman tidak ada di KTP.
“Kalau konteksnya untuk mengawasi distribusi, saya rasa (KTP) oke saja. Hanya nanti pengawasannya seperti apa, apakah di KTP tercantum bahwa seseorang layak menerima pupuk bersubsidi,” kata dia.
SPI juga menyuarakan permasalahan lain terkait dengan jumlah kuota pupuk bersubsidi yang tidak mencukupi kebutuhan petani.
Khusus komoditas padi misalnya, kebutuhan pupuk per musim tanam dengan luas baku sawah 7,3 juta hektare (ha) sekitar 2,1 juta ton pupuk.
“PT Pupuk Indonesia mengeklaim stok pupuk aman, yakni 1,4 juta ton. Kalau pakai data itu, masih defisit sebenarnya. Apalagi, anggaran kontrak dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) pupuk tahun ini hanya 6,68 juta ton dari alokasi 7,85 juta ton, itu pun menyasar sembilan komoditas,” kata dia.
Mujahid juga mendorong agar Indonesia tidak tergantung pupuk subsidi (kimia) dan mengupayakan petani bisa memproduksi secara mandiri. Data penerima subsidi juga perlu diperbaiki agar sinkron dan tepat sasaran.
“Beberapa hal penting lain yang perlu diperbaiki adalah data luasan lahan dan petani yang berhak menerima subsidi agar datanya sinkron antarkementerian. Poin lain, SPI usul agar ke depan pengembangan pupuk tidak hanya kimia tetapi juga meningkatkan penggunaan pupuk organik. Ini nantinya bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada pupuk kimia,” ungkap dia.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengakui bahwa masalah distribusi merupakan akar permasalahan pupuk bersubsidi. Dia menyatakan bahwa perubahan dalam peraturan menteri pertanian (permentan) akan mempermudah akses petani ke pupuk bersubsidi. Selain itu, bagi petani yang tidak memiliki kartu tani, mereka dapat menggunakan KTP untuk membeli pupuk bersubsidi. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan akses petani, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh sistem distribusi pupuk berbasis kartu tani.