Judul film : Indiana Jones and the Dial of Destiny
Genre : Aksi, Petualangan
Sutradara : James Mangold
Skenario : Jez Butterworth, John-Henry Butterworth, David Koepp, James Mangold
Pemain : Harrison Ford, Phoebe Waller-Bridge, Antonio Banderas, John Rhys-Davies, Toby Jones, Boyd Holbrook, Ethann Isidore, Mads Mikkelsen
Produksi : Walt Disney Pictures, Lucasfilm Ltd.
Indiana Jones kembali dalam petualangan terakhirnya lewat Indiana Jones and the Dial of Destiny, yang tayang perdana di bioskop Indonesia mulai Rabu (28/6/2023). Petualangan mengesankan sang penjelajah yang ahli memainkan cambuk, harus berakhir dalam film kelima yang dikemas kurang apik.
Tak bisa dimungkiri, absennya Steven Spielberg di bangku sutradara (digantikan oleh James Mangold), juga ketidakhadiran George Lucas di penulisan cerita membuat ada yang hilang dari the Dial of Destiny jika dibandingkan empat film Indiana Jones sebelumnya. Baik Spielberg dan Lucas memang masih ambil bagian sebagai produser eksekutif dari film dengan bujet US$ 295 juta atau sekitar Rp 4,4 triliun itu.
Indiana Jones and the Dial of Destiny dibuka dengan kilas balik masa lalu, pada puncak Perang Dunia II, Jones (kembali diperankan oleh sang legenda Harrison Ford) dan rekan kerjanya, Basil Shaw (Toby Jones), menggagalkan Juergen Voller seorang Nazi (Mads Mikkelsen), untuk mendapatkan artefak Antikythera. Bisa dibilang, awal film ini justru menjadi bagian terbaik dari film berdurasi 154 menit itu, dengan efek de-aging yang membuat Harrison Ford seumuran dengan masanya saat membawakan Indiana Jones and the Last Crusade (1989).
Kisah berlanjut ke tahun 1969, dimana Jones kini sudah berada di garis akhir dalam kariernya sebagai penjelajah. Sang petualang kini hanya menjabat sebagai dosen sejarah di kampus yang mahasiswanya bahkan tidak peduli dengan apa yang diajarkan. Tiba-tiba putri Basil yang juga merupakan anak baptisnya, Helena Shaw (Phoebe Waller-Bridge) muncul untuk membahas kembali Antikythera.
Rupanya artefak itu memiliki kemampuan untuk kembali ke masa lalu. Jones dan Helena, kini harus berlomba dengan Voller yang berniat mendapatkan tiga bagian dari Antikythera guna mengembalikan kejayaan Nazi.
Alur ceritanya yang cukup konyol terutama pada tahap akhirnya, membuat film ini seperti terjebak dalam plot yang membosankan. Adegan-adegan dalam The Dial of Destiny seperti pengejaran di kereta, kejar-kejaran mobil (melawan bajaj), seperti cukup bisa ditebak, repetitif, dan terkesan terlalu mengandalkan efek CGI.
Film ini terlalu mengandalkan chemistry antara Ford dan Waller-Bridge, yang sayangnya kurang terjalin dengan apik. Ya, dalam film ini sendiri memang Jones dan Shaw tidak terlalu dekat bahkan sudah lama sekali tidak berjumpa. Tak heran petualangan keduanya lebih terkesan layaknya penjelajah senior dan junior, tanpa ikatan emosional yang membuat penonton gagal terkoneksi dengan karakter keduanya.
Mangold dalam film ini memang menekankan pada tema tentang usia tua dan penyesalan, suatu konsep yang berhasil disampaikannya lewat Logan (2017) namun tidak mengena di film kelima Indiana Jones ini. The Dial of Destiny terkesan seperti kisah akhir yang menjadikan alasan mengapa film keenam rasanya tidak perlu dibuat lagi.
Sekadar informasi, The Dial of Destiny memang menjadi sekuel Indiana Jones dengan skor Rotten Tomatoes terendah, yakni 65% dari 144 reviewer (Raiders of the Lost Ark 93%, Indiana Jones and the Temple of Doom 77%, Indiana Jones and the Last Crusade 84%, Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull 77%). Bahkan ini juga menjadi film sekuel dengan Harrison Ford sebagai aktor utamanya yang mendapatkan skor terendah, di bawah 70%.
Pada akhirnya, film ini tetap layak ditonton oleh mereka yang mengikuti waralaba ini dari Raiders of the Lost Ark (1981), namun mungkin terkesan menjadi sekadar film petualangan biasa bagi mereka yang baru atau tidak terlalu mengikuti serial Indiana Jones.